parpol

parpol

garansi

Menang Pemilu Tidak Harus Mahal...Kuncinya: Kenali diri, kenali lawan maka kemenangan sudah pasti di tangan,..Kenali medan pertempuran,kenali iklim maka kemenangan jadi sempurna...Garansi:Menang Bayar, kalah Tidak Usah Bayar....

Rabu, 30 Maret 2011

Dinasti Politik Salah Siapa??

Akhir-akhir ini banyak masyarakat yang mempermasalahkan munculnya fenomena dinasti politik di Indonesia. Fenomena ini muncul seiring dengan diterapkannya system pemilu langsung untuk memilih kepala daerah atau Pemilukada. Dinasti politik dalam bahasa sederhana diartikan sebagai sebuah rezim kekuasaan politik yang dijalankan secara turun-temurun oleh keluarga atau kerabat dekat. 

Beberapa contoh adalah penguasaan berbagai jabatan politik di Propinsi Banten oleh keluarga Ratu Atut (gubernur Banten saat ini). Di Sulawesi Selatan, keluarga Yassin Limpo juga mengusai banyak jabatan-jabatan politik. Di Kabupaten Kendal Jawa Tengah: Widya Kandi Susanti menggantikan suaminya Hendry Boedoro, bupati Kendal yang sedang mendekam di kamar bui, lantaran terbukti menyelewengkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APND) Kendal. Di Kabupaten Ngawi Jawa Timur : Haryanti Sutrisno mengantikan suaminya Sutrisno menjadi bupati setelah bertarung melawan salah satunya adalah Nurlaila, yang tak lain dan tak bukan adalah istri muda Sutrisno. Di Indramayu, Jawa Barat: istri Bupati Irianto MS Syafiuddin (Yance) yang bernama Anna Sophanah juga dipastikan menang dalam pemilihan kepala daerah. Anna ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) meraup 60,78 persen suara bersama pasangan calon Wakil Bupati Supendi.

Pertanyaanya, semua ini salah siapa? Menurut saya ada ada tiga (3) pihak yang bertanggung jawab atas munculnya fenomena ini. 

Pertama, masyarakat sendiri. Pilkada merupakan pemilu langsung. Dalam pemilu langsung dikenal “one man one vote”. Artinya semua tergantung dari pemilih (masyarakat) mau memilih siapa. Kalau kemudian kandidat yang terpilih selalu dari keluarga tertentu maka itu salah masyarakat sendiri. Mengapa masyarakat tetap memilih mereka?  

Kedua, Partai Politik. Kondisi masyarakat yang belum memiliki kesadaran politik tersebut adalah tanggung jawab partai. Partai politik selama ini tidak melakukan pedidikan politik. Partai politik hanya menjadi ajang untuk memperjuangkan kepentingan diri sendiri. Dalam prakteknya pengurus partai mudah dibeli oleh orang-orang yang ingin mencalonkan diri. Alih-alih melakukan pendidikan politik, partai politik justru senang mencari jalan pintas meraih kemenangan tanpa melihat lebih jauh siapa calon yang mereka dukung. 

Ketiga Perundangan yang mengatur Pemilukada. Suami, istri, anak, menantu atau saudara dari pejabat tertentu yang ingin maju dalam Pilkada adalah tidak salah. Sebab sejauh ini memang tidak ada aturan yang melarang mereka untuk maju dalam Pilkada. Tidak ada satu pasal pun dalam undang-undang Pemilukada yang melarang keikutsertaan mereka. Oleh sebab itu, untuk melarang mereka maju dalam Pilkada harus dilakukan amandemen undang-undang pilkada terlebih dahulu. Persoalan selanjutnya, apakah pelarangan mereka dalam pilkada tidak akan melanggar hak asasi manusia?. Karena bila prisipnya kompetisi dan kompetensi, tidak ada larangan mereka untuk maju dalam Pilkada. Oleh sebab itu, harus hati-hati dalam menyusun RUU pemilukada kedepan.

Konsultan Politik Sebagai Faktor Membengkaknya Biaya Pilkada??


Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan Daerah (Perludem) Didik Supriyanto secara tidak langsung menyalahkan konsultan politik sebagai salah satu faktor penyebab membengkaknya biaya pelaksanaan PILKADA. (http://nasional.kompas.com/read/2011/03/29/19475255/Pilkada.Langsung.Dinilai.Mahal). Oleh karenanya Didik mengusulkan agar undang-undang Pemilukada ditata ulang sehingga peran konsultan politik bisa dibatasi. “…Karena kalau tidak, semakin banyak diperlukan konsultan-konsultan politik yang harganya pun tidak murah. " pungkasnya.

Pernyataan Didik tersebut banyak mengandung kesalahan. Ada beberapa penyataaan Didik yang harus diluruskan. Pertama, Didik harus membedakan biaya Pimilukada yang dikeluarkan oleh KPUD dan biaya yang dikeluarkan oleh kandidat. Hal ini perlu diperjelas karena kedua hal tersebut berbeda. Selama ini yang selalu dipermasalahkan adalah biaya pelaksanaan Pemilukada yang dikeluarkan oleh KPUD (anggaran pemerintah). Oleh sebab itu, solusinya adalah penyederhanaan dan efisiensi pelaksanaan Pemilukada. Namun harus diingat bahwa demokrasi (pemilu) memang membutuhkan biaya yang cukup besar. Bila ingin biaya yang murah, kita bisa memilih system rekruitmen politik dengan model monarkhi atau kerajaan. 

Kedua, bila yang dimaksud adalah biaya yang dikeluarkan oleh kandidat. Satu hal yang perlu diluruskan adalah pemahaman tentang untuk apa, kapan, dimana dan berapa jumlah dana yang dikeluarkan oleh kandidat dalam Pemilukada. Banyak pengamat banyak yang salah memahami hal ini karena mereka hanya melihat pelaksanaan Pemilukada dari belakang meja. Mereka banyak menganggap bahwa biaya Pemilukada yang keluarkan oleh kandidat adalah untuk menyelenggaraka kampanye (khususnya arak-arakan). Padahal, dalam beberapa tahun ini, sudah jarang kandidat Pemilukada yang menggunakan metode kampanye monolog dengan cara araka-arakan keliling kota. Kampanye arak-arakan adalah kampanye model kampanye partai jaman orde baru dulu. 

Beberapa pos pengeluaran terbesar kandidat dalam pemilukada adalah 1) biaya “tiket” pencalonan dari partai politik, 2) biaya sosialisasi sebelum masa kampanye, 3) biaya pembentukan tim sukses, 4) biaya pembentukan tim saksi, 5) biaya masa kampanye.  Dari kelima pos pengeluaran tersebut, biaya masa kampanye adalah yang relative paling kecil. Oleh sebab itu, seandainya pun masa kampanye hanya dibatasi satu hari saja, biaya pengeluaran kandidat tidak akan berkurang secara signifikan. Artinya, bila kita ingin menekan biaya pilkada hanya dengan mengatur pengeluaran pada masa kampanye saja adalah kesalahan besar. 

Ketiga, soal bila undang-undang Pemilukada sudah ditata “rapih” maka konsultan politik sudah tidak diperlukan lagi. Ini adalah cara pandang yang salah besar. Didik tampaknya hanya memahami konsultan politik layaknya agen iklan atau event organizer. Konsultan politik adalah profesi layaknya profesi konsultan lainya. Konsultan politik adalah konsultan yang memberikan nasihat atau saran bagaimana meraih kesuksesan dalam pemilu secara efektif dan efisien. Apakah dengan adanya system hukum yang baik lantas konsultan hukum menjadi tak diperlukan lagi? Kenyataaanya justru sebaliknya, konsultan hukum malah semakin dibutuhkan. Di Amerikan dan banyak Negara lain yang memiliki system pemilu yang sudah mapan, peran konsultan politik tetap penting. 

Keempat, soal tarif konsultan politik yang mahal. Soal mahal dan murah adalah soal relative. Tapi yang jelas, bila dibandingkan antara biaya tarif konsultan politik dengan biaya secara keseluruhan Pemilukada, biaya tarif konsultan politik tidak terlalu signifikan. Didik memihat biaya tarif konsultan politik sangat mahal adalah karena hanya melihat dari bebarapa tarif konsultan politik. Padahal tidak semua konsultan politik mematok harga yang tinggi. Ibarat harga mobil, Didik hanya melihat harga mobil-mobil mewah. Lembaga saya bahkan memasang tarif yang relative murah. Kami hanya mendapat fee pemenangan saja. Artinya kami hanya akan dibayar bila kandidat menang Pemilukada. Bila kalah, kami tidak mendapat uang sepeserpun. Dengan begitu, apakah biaya konsultan politik masih bisa dikatakan mahal??

Mengapa Calon Independent Susah Menang Pilkada??


Mengapa Calon Independen Banyak Yang Kalah?

 Oleh Dendi Susianto


Gelombang reformasi telah merombak sistem demokrasi di Indonesia secara fundamental. Salah satunya adalah perubahan mendasar yang terjadi pada sistem pemilu di Indonesia. Sistem pemilu yang sebelumnya menggunakan sistem pemilu tidak langsung (perwakilan) dirombak menjadi pemilu langsung. Yaitu pemilu dengan sistem “one man one vote” (satu orang satu suara). Amandemen konstitusi mengamanatkan agar pemilihan pejabat publik (DPRD, DPR dan DPD) serta Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat. Aturan pelaksanaan pemilu untuk memilih anggota DPRD, DPR dan DPD tersebut dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003. Sementara itu, aturan pelaksanaan pemilihan presiden dan wakil presiden dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2003 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.

Perombakan sistem pemilu tidak hanya terjadi di tingkat nasional (presiden dan wakil presiden) tetapi juga terjadi pada pemilu tingkat lokal. Konstitusi hasil amandemen kedua mengamanatkan agar pelaksanaan pemilihan kepala daerah (gubernur, bupati/walikota) juga dilakukan secara langsung. Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 menyatakan bahwa gubernur, bupati dan walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan propinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis. Kata demokratis ini oleh pemerintah diterjemahkan sebagai pemilihan secara langsung. Aturan pelaksanaan konstitusi ini kemudian dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Sejak saat itu, pemilihan gubernur, bupati dan walikota di seluruh Indonesia dilakukan secara langsung.

Menurut Undang-Undangan Nomor 32 Tahun 2004 ini persyaratan pencalonan kepala daerah hanya bisa bisa dilakukan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memenuhi persyaratan.  Persyaratan pencalonan ini kemudian mendapat banyak protes dari masyarakat. Salah satu bekas calon kepala daerah yang gagal memenuhi persyaratan pencalonan kemudian melakukan gugatan judicial review terhadap beberapa pasal yang menyangkut persyaratan pencalonan Pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK). Menurut penggugat beberapa pasal dalam UU No.32 tahun 2004 dianggap menghilangkan makna demokrasi sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945. Hal ini dikarenakan pasal-pasal tersebut hanya memberikan hak kepada parpol atau gabungan parpol dalam mengusulkan dan atau mengajukan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Namun disisi lain tidak memberikan peluang bagi pasangan calon perseorangan.

Keputusan MK mengabulkan gugatan judicial review terhadap beberapa pasal yang menyangkut persyaratan pencalonan Pilkada. Melalui keputusan No 5/PUU-V/2007, MK menganulir UU 32/2004 pasal 56, 59 dan 60 tentang persyaratan pencalonan kepala daerah. Menurut MK, ketentuan UU No 32 Tahun 2004 yang menyatakan hanya partai atau gabungan parpol yang dapat mengajukan pasangan calon kepala daerah, bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945. Dengan kata lain keputasan MK ini membuka babak baru bagi Pilkada di Indonesia yakni dengan diperbolehkannya calon perseorangan maju dalam Pilkada.

Untuk menindaklanjuti keputusan MK tersebut kemudian DPR melakukan revisi terbatas terhadap UU 32/2004 dan menerbitkan UU Nomor 12 Tahun 2008. Dalam undang-undang ini diatur secara rinci tentang berbagai persyaratan yang harus dipenuhi oleh calon perseorangan. Pasal 59 Ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2008 menyatakan bahwa salah satu persyaratan yang harus dipenuhi oleh calon perseorangan adalah berupa berupa bukti sejumlah dukungan dari masyarakat. Secara teknis bentuk dukungan resmi dari masyarakat ini dibuktikan melalui fotokopi kartu tanda penduduk (KTP).



Persyaratan Jumlah Dukungan
Calon Perseorangan
Jumlah Penduduk
Dukungan Minimal
Gubernur
s.d 2 juta jiwa
2 – 6 juta jiwa
6 – 12 juta jiwa
> 12 juta jiwa
6,5%
5%
4%
3%
Bupati/walikota
s.d 250 ribu jiwa
250 ribu – 500 ribu jiwa
500 ribu – 1 juta jiwa
> 1 juta jiwa
6,5%
5%
4%
3%


Kehadiran calon perseorangan dalam pilkada ini memunculkan berbagai pandangan di masyarakat. Sebagian kalangan merasa khawatir dengan kehadiran calon perseorangan. Menurut mereka kehadiran calon perseorangan akan merusak sistem demokrasi kepartaian di Indonesia. Kehadiran calon perseorangan dianggap akan mengancam eksistensi partai politik sebagai pilar utama sistem demokrasi di Indonesia. Dengan bahasa lain, kehadiran calon perseorangan adalah sebagai salah satu bentuk dari proses pengurangan peran partai politik (deparpolisasi) di Indonesia. 

Sementara itu, sebagian kalangan yang lain menyambut gembira atas kehadiran calon perseorangan ini dalam Pilkada. Kehadiran calon perseorangan ini justru dianggap sebagai salah satu solusi untuk memperbaiki sistem demokrasi yang telah dirusak oleh elit partai politik. Kehadiran calon perseorangan dianggap bisa mengurangi ekses negatif dari oligarkhi partai politik yang berlebihan. Kehadiran calon perseorangan ini juga dianggap bisa berdampak pada menurunnya praktik-praktik politik uang (money politics) yang terjadi dalam proses pencalonan di Pilkada. 

Ditengah memburuknya citra partai politik di mata masyarakat, calon perseorangan yang maju dalam Pilkada sebenarnya memiliki kesempatan yang besar meraih simpati masyarakat dan memenangkan Pilkada. Tetapi mengapa sejauh ini masih sangat sedikit Pilkada yang dimenangkan oleh calon perseorangan? Pilkada justru banyak dimenangkan oleh calon yang didukung oleh partai politik atau gabungan partai politik. Dan sebagian besar calon yang didukung oleh partai politik dan menang tersebut adalah berasal dari pejabat yang sedang berkuasa (incumbent). 

Ada beberapa sebab mengapa bakal calon perseorangan sering gagal memenangkan Pilkada. Pertama, jalur perseorangan selama ini hanya dijadikan jalur “keterpaksaan” atau jalur “skoci” oleh bakal calon Pilkada. Jalur perseorangan terpaksa dipilih oleh bakal calon karena setelah mereka melakukan loby-loby dan deal-deal politik yang menguras energi, waktu dan dana ternyata tidak ada satu pun partai yang mau memberikan tiket kepadanya. Bakal calon yang gagal mendapatkan tiket pencalonan dari partai hanya punya dua pilihan; mundur atau maju melalui jalur perseorangan. Dan disadari atau tidak, kegagalan mendapatkan tiket pencalonan dari partai tersebut memiliki dampak psikologis pada bakal calon perseorangan. Yang pada gilirannya berpengaruh pada semangat bertanding dari bakal calon perseorangan 

Kedua, jalur perseorangan selama ini lebih banyak dipakai oleh bakal calon yang kurang pontesial. Jalur perseorangan banyak dipakai oleh pemain-pemain “penggembira” saja.  Sementara pemain-pemain “utama” sudah “kontrak” oleh partai-partai politik. Hal ini bisa dipahami karena partai-partai yang memiliki tiket pencalonan tentu hanya memilih bakal calon yang memiliki peluang paling besar memenangkan Pilkada. Apalagi kini partai-partai politik sudah menggunakan instrumen survei untuk melihat siapa diantara bakal calon yang paling berpeluang memenangkan Pilkada. Dengan instrumen survei ini, peta politik di wilayah tersebut menjadi tergambar secara jelas. 

Ketiga, adanya kesalahan strategi pemenangan yang diterapkan oleh bakal calon perseorangan. Kesalahan strategi pemenangan ini sebenarnya juga tidak dimonopoli oleh bakal calon perseorangan saja tetapi juga banyak dilakukan oleh bakal calon dari partai politik. Hal yang paling mendasar dari kesalahan penggunaan strategi pemenangan adalah bakal calon tidak memilik grand design strategi pemenangan. Salah satunya, misalnya, bakal calon perseorangan sering betarung hanya bermodalkan naluri dan asumsi. Mereka tidak menggunakan metode-metode ilmiah untuk mempengaruhi pemilih. Mereka juga tidak memiliki data peta politik yang valid yang diperoleh secara ilmiah seperti survei di wilayah tersebut. Sehingga yang terjadi  mereka seperti bertempur di tengah hutan tapi tidak mengenal medan pertempuranya. Padahal seperti yang dikatakan oleh Sun Tzu, tokoh klasik strategi perang, bahwa; ”Kenali Diri Sendiri, Kenali Lawan; Maka Kemenangan Sudah Pasti Ada di Tangan. Kenali Medan Pertempuran, Kenali Iklim; Maka Kemenangan Akan Sempurna”.

Sebenarnya bila ada grand design strategi pemenangan yang tepat, bakal calon perseorangan memiliki kesempatan yang besar untuk memenangkan Pilkada. Karena berdasarkan pengalaman studi perilaku pemilih di berbagai wilayah di Indonesia menunjukan bahwa kini terjadi pergeseran perilaku politik pemilih. Pemilih sekarang cenderung bersikap lebih otonom dari partai politik. Sikap politik pemilih tidak selalu sebangun dengan sikap politik elit partai politik. Bisa kebijakan partai politik menyatakan mendukung calon si A tapi masyarakat tetap mendukung si B. Hal ini terbukti di berbagai Pilkada dan pemilu presiden di Indonesia. Calon yang didukung oleh partai besar ternyata kalah oleh calon yang didukung oleh partai-partai gurem atau calon perseorangan. 

Selain itu, biaya politik pencalonan melalui jalur perseorangan relatif lebih murah dibanding pencalonan menggunakan jalur partai. Logikanya, dengan semakin murahnya ongkos politik dalam proses pencalonan ini akan sedikit banyak menekan timbulnya korupsi dalam pemerintahan. Disisi lain, pemenang Pilkda yang menggunakan jalur perseorangan tidak akan merasa tersandera oleh deal-deal politik dengan partai politik. Sehingga pejabat yang menang melalui jalur perseorangan akan lebih merdeka dalam menyalurkan idealismenya dalam membangun wilayahnya. Dalam jangka panjang, dengan semakin banyaknya calon yang menang melalui jalur independen maka akan semakin meningkatkan kualitas demokrasi di Indonesia.


Sabtu, 19 Maret 2011

Laporan Quick Count Pilkada Kota Medan 2005


Laporan Quick Count

ABDILLAH-RAMLI DIPREDIKSIKAN MENANG,
PEMILIH KURANG ANTUSIAS MENDATANGI TPS

(27 Juni 2005)

Abdillah-Ramli diprediksikan memperoleh suara terbanyak dalam Pilkada ini. Prediksi ini diperoleh dari quick count yang dilakukan oleh  ISPP di 300 TPS yang dipilih secara acak di Kota Medan.

Quick Count menemukan bahwa pasangan Abdillah-Ramli bakal mengantongi sekitar 63,35% suara. Sementara pesaingnya Maulana-Sigit mendapatkan sekitar 36,65% suara.

Quick count ini menghitung suara lebih dari 9.000 pemilih yang mencoblos di 243 TPS yang menjadi sampel Quick Count. dengan demikian memiliki margin of error +/- 2% poin pada tingkat kepercayaan 95%. Artinya, bila diulang 100 kali maka prediksi ini akan nyaris sama (bergeser lebih atau kurang 2%) sebanyak 95 kali.

Selain quick count, ISPP juga melakukan pemantauan terhadap TPS. Hasil pemantauan 300 relawan ISPP menyimpulkan bahwa Pemilihan Kepala Daerah Langsung (Pilkadasung) di Kota Medan hari ini, 27 Juni 2005, berlangsung relatif baik.

Sebanyak 68% dari TPS yang dipantau sama sekali tidak ditemukan adanya penyimpangan dalam proses pemungutan dan penghitungan suara. Sejumlah 31% TPS lainnya ditemui adanya penyimpangan ringan namun tidak berarti bahwa pemilu di TPS tersebut tidak berlangsung jujur dan adil.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa proses pemungutan dan  penghitungan suara di hampir semua TPS berjalan secara lancar dan sesuai dengan aturan yang berlaku. Penyimpangan dan kecurangan hanya terjadi pada 1% TPS yang dipantau.

Mayoritas bilik suara terlihat sudah menjamin kerahasiaan pemilih. Namun pada sekitar 10,8% TPS, terlihat kurang dapat menjamin kerahasiaan pemilih karena berbagai alasan, misalnya terlalu dekat dengan penonton dan terlalu terbuka.

Pada mayoritas TPS tidak ditemui adanya kecurangan. Hanya sedikit relawan yang melaporkan di TPS yang dipantaunya ada pemilih yang jarinya sudah bertinta tetapi dapat memilih lagi (4,6%). Intimidasi juga hanya terlihat di sebagian kecil TPS saja, yaitu masing-masing 6,5% intimidasi terhadap KPPS dan 7,6% intimidasi terhadap pemilih.

Kecurangan lain seperti kampanye di seputar TPS juga hanya terpantau di sebagian kecil TPS (9,7%). Sementara politik uang----pemberian barang atau uang agar memilih pasangan tertentu---juga hanya terlihat di sebagian kecil TPS saja (4,6%).   

Hasil selengkapnya mengenai pemantauan ISPP dapat dilihat pada Tabel.

Meski berjalan lancar, namun muncul kesan masyarakat Medan kurang antusias terhadap Pilkadasung ini. Hal ini diindikasikan dengan tingkat partisipasi pemilih (voter turnout) yang relatif rendah. Pemantauan ISPP memperkirakan hanya 63% pemilih yang memberikan suara. Artinya ada 37% pemilih terdaftar yang tidak datang ke TPS untuk memberikan suara.

Tabel 1. Hasil Pemantauan Terhadap Proses Pemungutan dan Penghitungan Suara di TPS  Pilkada Kota Medan (n=300)

No.
Pertanyaan
Ya
Tidak
Apakah keadaan bilik menjamin kerahasiaan pemilih?
89,2%
10,8%
2.
Apakah ada intimidasi terhadap pemilih?
7,6%
92,4%
3.
Apakah ada intimidasi terhadap KPPS?
6,5%
93,5%
4.
Apakah ada pemilih yang jarinya sudah bertinta tetapi ikut memilih?
4,6%
95,4%
5.
Apakah melihat ada praktek kampanye di sekitar TPS yang dipantau?
9,7%
90,3%
6.
Apakah melihat ada pemberian uang atau barang di sekitar TPS agar memilih pasangan tertentu?
4,6%
95,4%

Laporan tersebut di atas merupakan hasil pemantauan relawan ISPP di 300 TPS yang dipilih secara acak di seluruh kecamatan di kota Medan. Margin of error dari pengamatan ini adalah +/- 2 persen-poin pada tingkat kepercayaan 95%. Pemantauan ini dilaksanakan oleh ISPP bekerjasama dengan berbagai elemen masyarakat Kota Medan.