parpol

parpol

garansi

Menang Pemilu Tidak Harus Mahal...Kuncinya: Kenali diri, kenali lawan maka kemenangan sudah pasti di tangan,..Kenali medan pertempuran,kenali iklim maka kemenangan jadi sempurna...Garansi:Menang Bayar, kalah Tidak Usah Bayar....

Jumat, 13 Januari 2012

Tiga Modus Memanfaatkan Hasil Survei Sebagai Alat Kampanye

Tengah hari kemarin, di foodcourt lantai dasar Sarinah, saya ngobrol panjang dengan kawan wartawan dari ANtv. Isi obrolan tidak jauh dengan obrolan saya sebelumnya dengan wartawan RCTI. Pada umumnya wartawan dan orang awam survei lainya bertanya soal fenomena munculnya publikasi hasil survei yang dirasa aneh. Dimana ahir-ahir ini sering nampak hasil-hasil survei menjadi corong bagi suatu kepentingan (partai, kandidat, lembaga).

Mengapa hasil survei bisa menjadi "aneh"? Jawabannya, paling tidak ada tiga modus, yaitu;


Pertama, lembaga survei mempublikasikan hasil survei fiktif. Artinya lembaga survei sebenarnya tidak melakukan survei di lapangan. Mereka hanya mengumumkan hasil survei yang dibuat-buat saja. Hasil survei ini tentunya disesuaikan dengan kepentingan "si pembeli". Maksudnya jelas agar "si pembeli" mendapatkan point positif dari pemberitaan di media massa. Perbuatan ini biasanya banyak dilakukan oleh lembaga survei amatiran. Fenomenan ini banyak dilakukan oleh lembaga-lembaga survei di daerah. Lembaga survei amatiran adalah lembaga survei yang sengaja dibentuk hanya untuk mempublikasikan satu hasil survei, setelah itu bubar jalan. Fenomenan ini sering kita lihat, ketika bebarapa lembaga survei mengatakan bahwa si "A" menang, tapi ada satu lembaga yang mengatakan si "B" menang. Nah lembaga yang sendirian mengatakan si "B" menang ini, biasanya adalah lembaga survei abal-abal.

Kedua, lembaga survei mempublikasikan hasil survei yang sudah direkayasa. Artinya disini lembaga survei membuat dua versi laporan hasil survei. Versi pertama adalah versi yang sebenarnya. Versi yang kedua adala versi yang sudah direkayasa sesuai dengan keinginan "si pembeli". Nah versi yang sudah direkayasa ini yang diedarkan di media massa. Versi ini tentunya versi yang sesuai dengan keinginan "si pembeli". Oleh sebab itu, jangan heran bila kadang hasil survei menjadi "agak aneh".

Ketiga, hasil "kebodohan" dari lembaga survei. Kebodohan yang saya maksud disini adalah ketidakpahaman lembaga survei dalam menentukan metodologi atau tema atau hal yang mana yang bisa diteliti dengan survei dan tema-tema mana yang tidak bisa. Medote yang salah, selain hasilnya tidak valid, hasil survei juga jadi ngaco tidak karuan. Selain kesalahan metode, lembaga survei juga banyak yang belum paham hal-hal aa yang bisa disurvei. Sebagai sebuah alat, tentunya tidak semua hal bisa disurvei. Misalnya, untuk mengetahui berapa kali seharuskan kita mandi dalam 1 hari, kita tidak usah melakukan survei sebab jawabanya sudah jelas. Contoh konyol lainya: ada lembaga survei yang mengumumkan hasil survei bahwa citra di masyarakat Polisi lebih bersih dari KPK.

Jadi bila ada hasil survei yang aneh-aneh maka kemungkinan besar mereka melakukan satu diantara ketiga modus diatas. Mohon maaf bila ada pihak yang tidak berkenan dengan tulisan ini.
Semoga  tulisan ini bermanfaat.salam

Selasa, 03 Januari 2012

Mengupas Soal Peran Uang Dalam Pilkada

Beberapa waktu lalu saya bertemu dengan seorang kawan pengusaha di Palu, Sulawesi Tengah. Kami mengobrol cukup panjang, mulai dari dinamika politik lokal hingga prospek politik nasional.

Namun ada satu pertanyaan dari beliau yang perlu saya ulas disini. Saya menilai pertanyaan ini penting diketahui oleh publik, juga sudah banyak ditanyakan oleh kawan-kawan lain di daerah. Pertanyaan tersebut adalah soal peran uang dalam Pilkada. Berikut saya cuplik pertanyaan kawan saya yang dikirim via email....” Mas Dendy juga bilang kalau perilaku pemilih bahwa calon yang menyetorkan dana lebih besar belum tentu dipilih oleh masyarakat. Jadi prinsipnya sebenarnya yg penting menyetorkan uang? Lalu dimana factor yg membuat masyarakat mau memilih kita walaupun kita bermain money politic nya dengan dana yg lebih kecil?”

Persoalan uang dalam pilkada adalah persoalan yg kompleks dan banyak faktor saling berpengaruh. Selama ini banyak pengamat mengatakan bahwa pemenang pilkada adalah kandidat yang memiliki uang paling banyak. Hal ini tidak selalu benar. Banyak kandidat yang mengeluarkan uang banyak tapi tetap kalah. Sementara ada kandidat yang mengeluarkan uang relatif sedikit tapi malah memenangkan pilkada. Hal ini yang ingin saya jelaskan bahwa “uang dalam pilkada memang sangat penting tapi bukan segalanya". Artinya tidak otomatis, kandidat yang memiliki uang paling banyak dan “membelanjakan” uang paling banyak akan otomatis menjadi pemanang dalam pilkada. Hal penting lainya yang harus diperhatikan adalah "bagaimana cara memberikan".

Kasus di lapangan misalnya seperti ini, ada 2 kandidat di pilkada. Kandidat pertama memberikan uang 50 ribu sementara kandidat kedua tidak memberikan apa2 maka, 90% pemilih akan cenderung memilih kandidat pertama (yg memberikan uang). Namun bila kandidat kedua memberikan uang 10 ribu saja maka kondisi akan berubah. Pengalaman di lapangan, pemilih tidak secara otomatis memilih kandidat pertama yang memberikan uang paling besar. Kecenderungan pemilih akan menjadi 50%-50% atau tidak pasti memilih siapa. Dalama posisi 50-50 ini, faktor "bagaimana cara memberikan" yang akan berperan.

Persoalan selanjutnya adaah "Bagaimana cara memberikan" uang kepada pemilih. Perlu saya jelaskan “uang” disini jangan diartikan secara sempit. Definisi uang ini hanya berupa uang yang dibagi-bagikan pada saat serangan fajar. Uang ini adalah juga biaya untuk pembuatan program kampanye, honor tim saksi dan ongkos mobilisasi tim sukses.

Dalam proses “cara memberikan” dana yang efektif kepada pemilih akan dipengaruhi oleh beberapa faktor penting. Pertama, ketepatan kepada siapa yang diberikan. Ini merupakan faktor sangat penting karena bila kandidat salah sasaran maka apa yang dilakukan kandidat hanya seperti menggarami air lautan saja.

Kedua, menyangkut dalam bentuk apa dana yang diberikan kpd pemilih. Bisa berbentuk uang cash, program, dan barang. Disini kandidat harus tahu betul mana yang paling disukai oleh pemilih sehingga kandadat bisa menghitung ongkos yang akan dikeluarkanya.

Ketiga, menyangkut bagaimana cara kandidat memberikan dana tersebut kepada pemilih. Disini menyangkut bagaimana cara berkomunikasi kandidat dengan pemilih. Ilustrasi singkatnya; kandidat A memberikan sarung dengan cara di lemparkan saja, sementara kandidat B membagi sarung dengan menyapa pemilih. Pemilih akan cenderung memilih kandidat B tentunya.

Keempat, menyangkut soal waktu yang tepat (timing). Soal timing ini menyangkut apakah sebaiknya kandidat mengeluarkan uang hanya pada saat menjelang pilkada atau sering disebut dengan serangan fajar, atau memberikan secara bertahap yang jumlahnya terkontrol.

Kelima, menyangkut siapa yang memberikan. Apakah kandidat perlu memberikan langsung kepada pemilih atau cukup didistribusikan via tim sukses. Bila harus kandidat yang memberikan langsung tentunya akan menyita waktu dan tenaga yang banyak. Tapi bila distribusikan via tim sukses, ditakutkan akan banyak terjadi distorsi dan kebocoran di lapangan.

Inilah lima faktor yang berpengaruh dalam penggunaan uang di pilkada. Ini merupakan hasil pengalaman kami di lapangan selama menjadi menjadi konsultan politik di Indonesia. Semoga tulisan ini bermanfaat.