parpol

parpol

garansi

Menang Pemilu Tidak Harus Mahal...Kuncinya: Kenali diri, kenali lawan maka kemenangan sudah pasti di tangan,..Kenali medan pertempuran,kenali iklim maka kemenangan jadi sempurna...Garansi:Menang Bayar, kalah Tidak Usah Bayar....

Selasa, 03 Januari 2012

Mengupas Soal Peran Uang Dalam Pilkada

Beberapa waktu lalu saya bertemu dengan seorang kawan pengusaha di Palu, Sulawesi Tengah. Kami mengobrol cukup panjang, mulai dari dinamika politik lokal hingga prospek politik nasional.

Namun ada satu pertanyaan dari beliau yang perlu saya ulas disini. Saya menilai pertanyaan ini penting diketahui oleh publik, juga sudah banyak ditanyakan oleh kawan-kawan lain di daerah. Pertanyaan tersebut adalah soal peran uang dalam Pilkada. Berikut saya cuplik pertanyaan kawan saya yang dikirim via email....” Mas Dendy juga bilang kalau perilaku pemilih bahwa calon yang menyetorkan dana lebih besar belum tentu dipilih oleh masyarakat. Jadi prinsipnya sebenarnya yg penting menyetorkan uang? Lalu dimana factor yg membuat masyarakat mau memilih kita walaupun kita bermain money politic nya dengan dana yg lebih kecil?”

Persoalan uang dalam pilkada adalah persoalan yg kompleks dan banyak faktor saling berpengaruh. Selama ini banyak pengamat mengatakan bahwa pemenang pilkada adalah kandidat yang memiliki uang paling banyak. Hal ini tidak selalu benar. Banyak kandidat yang mengeluarkan uang banyak tapi tetap kalah. Sementara ada kandidat yang mengeluarkan uang relatif sedikit tapi malah memenangkan pilkada. Hal ini yang ingin saya jelaskan bahwa “uang dalam pilkada memang sangat penting tapi bukan segalanya". Artinya tidak otomatis, kandidat yang memiliki uang paling banyak dan “membelanjakan” uang paling banyak akan otomatis menjadi pemanang dalam pilkada. Hal penting lainya yang harus diperhatikan adalah "bagaimana cara memberikan".

Kasus di lapangan misalnya seperti ini, ada 2 kandidat di pilkada. Kandidat pertama memberikan uang 50 ribu sementara kandidat kedua tidak memberikan apa2 maka, 90% pemilih akan cenderung memilih kandidat pertama (yg memberikan uang). Namun bila kandidat kedua memberikan uang 10 ribu saja maka kondisi akan berubah. Pengalaman di lapangan, pemilih tidak secara otomatis memilih kandidat pertama yang memberikan uang paling besar. Kecenderungan pemilih akan menjadi 50%-50% atau tidak pasti memilih siapa. Dalama posisi 50-50 ini, faktor "bagaimana cara memberikan" yang akan berperan.

Persoalan selanjutnya adaah "Bagaimana cara memberikan" uang kepada pemilih. Perlu saya jelaskan “uang” disini jangan diartikan secara sempit. Definisi uang ini hanya berupa uang yang dibagi-bagikan pada saat serangan fajar. Uang ini adalah juga biaya untuk pembuatan program kampanye, honor tim saksi dan ongkos mobilisasi tim sukses.

Dalam proses “cara memberikan” dana yang efektif kepada pemilih akan dipengaruhi oleh beberapa faktor penting. Pertama, ketepatan kepada siapa yang diberikan. Ini merupakan faktor sangat penting karena bila kandidat salah sasaran maka apa yang dilakukan kandidat hanya seperti menggarami air lautan saja.

Kedua, menyangkut dalam bentuk apa dana yang diberikan kpd pemilih. Bisa berbentuk uang cash, program, dan barang. Disini kandidat harus tahu betul mana yang paling disukai oleh pemilih sehingga kandadat bisa menghitung ongkos yang akan dikeluarkanya.

Ketiga, menyangkut bagaimana cara kandidat memberikan dana tersebut kepada pemilih. Disini menyangkut bagaimana cara berkomunikasi kandidat dengan pemilih. Ilustrasi singkatnya; kandidat A memberikan sarung dengan cara di lemparkan saja, sementara kandidat B membagi sarung dengan menyapa pemilih. Pemilih akan cenderung memilih kandidat B tentunya.

Keempat, menyangkut soal waktu yang tepat (timing). Soal timing ini menyangkut apakah sebaiknya kandidat mengeluarkan uang hanya pada saat menjelang pilkada atau sering disebut dengan serangan fajar, atau memberikan secara bertahap yang jumlahnya terkontrol.

Kelima, menyangkut siapa yang memberikan. Apakah kandidat perlu memberikan langsung kepada pemilih atau cukup didistribusikan via tim sukses. Bila harus kandidat yang memberikan langsung tentunya akan menyita waktu dan tenaga yang banyak. Tapi bila distribusikan via tim sukses, ditakutkan akan banyak terjadi distorsi dan kebocoran di lapangan.

Inilah lima faktor yang berpengaruh dalam penggunaan uang di pilkada. Ini merupakan hasil pengalaman kami di lapangan selama menjadi menjadi konsultan politik di Indonesia. Semoga tulisan ini bermanfaat.

Jumat, 02 Desember 2011

Tiga Fase Penting Bagi Kandidat Pilkada


Salah satu hal penting  yang perlu dipahami oleh kandidat adalah tentang fase-fase penting dalam memenangkan Pilkda.

Fase Pertama adalah Fase Peningkatan Modal Sosial. Fase ini dikenal juga dengan fase sosialisasi. Fase ini adalah fase dimana kandidat benar-benar terjun ke masyarakat. Kandidat banyak melakukan sosialisasi di masyarakat. Kandidat melakukan kerja-kerja sosial. Jangan pernah berpikir bahwa modal sosial ini bisa diciptakan secara instant. Semakin lama fase ini dilalui oleh kandidat akan semakin kuat akar sosial kandidat di masyarakat. Semakin kuat modal sosial akan memperluas jaringan sosial kandidat di masyarakat. Besarnya modal sosial yang dipupuk oleh kandidat akan dapat menekan biaya finansial yang harus dikeluarkan oleh kandidat. Bahka pada tahap tertentu, justru pemilih yang akan secara suka rela mengeluarkan dana dan tenaga untuk mendukung kandidat.

Fase Kedua adalah Fase Meraih Dukungan Politik. Fase ini fase dimana kandidat berhasil mendapat dukungan dari partai politik. Kandidat memperoleh tiket pencalonan di KPU. Pada fase ini yang dibutuhkan adalah loby politik dan kekuatan finansial. Kedekatan dengan elit politik menjadi faktor penting. Hal ini penting untuk meyakinkan elit partai bahwa kandidat tersebut adalah orang yang punya potensi besar untuk memenangkan Pilkada. Kandidat juga harus menyakinkan elit partai bahwa kemenangan kandidat tersebut akan menguntungkan partai untuk kurun 5 tahun kedepan. Selain itu, sudah menjadi rahasia umum, untuk mendapatkan tiket partai, kandidat juga harus mengeluarkan dana yang tidak sedikit. Suka tidak suka ini lah konsekuensi dari sistem demokrasi liberal yang kita anut.

Fase Ketiga adalah Fase Memobilisasi Dukungan Pemilih. Ini adalah fase atau babak final dari pertandingan Pilkada. Disini kandidat dituntut untuk bagaimana menggerakan mesin mobilisasi (jaringan sosial) dan mesin pencitraan (media komunikasi). Pengalaman dan strategi politik sangat diperlukan pada fase ini. Bila dipandang perlu, konsultan politik bisa diminta bantuanya untuk mendampingi.

Sabtu, 05 November 2011

Survei Pesanan atau Bukan

Beberapa hari lalu beberapa lembaga (Sugeng Saryadi Syndicate, LSI dan Reform institut) secara berturut-turut mempublikasikan hasil survei terakhir mereka tentang pendapat masyarakat terhadap tokoh politik dan partai politik.
Publikasi tersebut banyak menimbulkan pertanyaan di masyarakat. Hal ini disebabkan hasil survei dari tiga lembaga tersebut berbeda-beda. Padahal ketiga lembaga survei melakukan survei masih dalam rentang waktu yang tidak berbeda. Selain itu, hasil survei dari tiga lembaga tersebut dinilai sangat menggiring opini untuk mendukung pihak atau tokoh tertentu.
Adanya fenomena tersebut, masyarakat jadi bertanya-tanya, apakah hasil survei tersebut merupakan hasil survei PESANAN atau memang murni hasil survei?
Untuk menjawab hal ini,  beberapa waktu lalu wartawan RCTI meminta pendapat saya soal pertanyaan tersebut.
Untuk menjawab pertanyaa tersebut, kita bisa menilai suatu survei dari dua hal. Pertama, soal siapa sponshor dari survei tersebut. Kedua, soal metodologi surveinya.
Selama ini, sebagian pihak sering melihat survei hanya dari sisi siapa sponshor. Mereka berpendapat bahwa survei yang dibiayai oleh pihak tertentu pasti hasilnya akan mendukung pihak sponshor. Pendapat ini tidak sepenuhnya benar. Sebab, survei yang dilakukan dengan metodologi yang benar hasilnya tetap akan sama walaupun disponsori oleh pihak manapun. Survei yang benar adalah seperti sebuah cermin atau potret. Dia akan mengungkapkan apa adanya.
Sebaliknya, bila survei dilakukan dengan metode yang  salah walaupun disponshori oleh dana publik maka hasilnya juga salah (cenderung mendukung tokoh atau pihak tertentu).Sebab bagi pihak seperti kami adalah hal yang biasa melakukan survei atas pesanan atau permintaan dari pihak tertentu (kandidat, partai atau swasta lainya). Walaupun kami diminta oleh pihak kandidat, kami selalu melakukan survei dengan kaidah ilmiah yang ketat. Sebab, kami harus memberikan hasil survei yang sebenar-benarnya:putih dikatakan putih,hitam dikatakan hitam.
Dengan landasan berpikir seperti diatas maka bila suatu survei dengan metodologi yang benar dan dilakukan dalam kurun waktu yang sama maka seharusnya hasilnya tidak berbeda alias sama. Oleh sebab itu, hal ini menunjukan bahwa memang hasil survei diantra ketiga lembaga tersebut ada yang salah. Kesalahan mungkin muncul dari pihak pelaksanan survei yang sengaja ingin menyenangkan pihak sponsor. Atau kesalahan dari  pelaksanan survei yang tidak-sengaja salah dalam menerapkan metodologi.
Untuk membuktikan kesalahan yang mana yang dilakukan oleh lembaga tersebut hanya bisa diketahui melalui secamam “audit” metodologinya. Kita harus mengetahui bagaimana metode pengambilan sampel yang mereka gunakan, bagaimana kuesionernya, bagaimana penerapan metodenya dilapangan dan bagaimana olah datanya. Bila kita bisa menjawab audit metodologi surveinya kita akan bisa memastikan semua pertanyaan yang muncul diatas. Salam.

Dendi Susianto
Direktur LKPI