parpol

parpol

garansi

Menang Pemilu Tidak Harus Mahal...Kuncinya: Kenali diri, kenali lawan maka kemenangan sudah pasti di tangan,..Kenali medan pertempuran,kenali iklim maka kemenangan jadi sempurna...Garansi:Menang Bayar, kalah Tidak Usah Bayar....

Sabtu, 19 Maret 2011

Hasil Survei Pilkada Tabalong 2008



Seperti kita ketahui bahwa pada tanggal 29 Oktober 2008 ini, Kabupaten Tabalong akan melaksanakan pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung. Dalam pilkada ini diikuti oleh tiga pasang calon yang akan memperebutkan kursi bupati dan wakil bupati untuk periode 2008-2013. Nomor urut satu adalah pasangan calon Anang Syakhfiani-Ridani Fiji. Nomor urut dua adalah pasangan calon Rahman Ramsy-Muchlis. Sedangkan nomor urut tiga adalah pasangan calon Gusti Kadarusman-Suyanto.

Pada tanggal 15 hingga 21 September 2008, Institut Survei Perilaku Politik (ISPP) melakukan survei pemetan politik di Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan. Artinya, survei ini dilaksanakan sebelum masa kampanye resmi pilkada. Survai ini dilakukan dengan menggunakan modote sampling acak berjenjang (multistages random sampling). Jumlah responden yang diwawancarai sebanyak 778 orang yang tersebar secara proporsional di semua kecamatan yang ada di Kabupaten Tabalong. Margin of Error dari survai ini adalah sebesar +/- 3,5 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen. Wawancara dilakukan dengan cara tatap muka dengan menggunakan kuesioner. Untuk menjaga validitas data, survei ini menerapkan kontrol dengan melakukan spot chek ke lapangan.

Tingkat Pedaftaran Pemilih
Dalam survei ini, responden ditanyai berbagai macam hal, seperti tingkat pengetahuan tentang pilkada, motivasi dan sikap politik pemilih. Bedasarkan hasil survei tersebut, tampaknya sebagian besar masyarakat Tabalong sudah sangat siap melaksanakan pesta demokrasi lokal, pilkada. Ketika responden ditanya apakah mereka sudah terdaftar sebagai pemilih dalam Pilkada, sebagaian besar (84.6%) sudah merasa terdaftar sebagai pemilih. Yang menjawab belum terdaftar sebesar 2.7%. Sedangkan yang tidak menjawab atau menjawab rahasia sebanyak 12.7%.

Tingkat Partisipasi
Berdasarkan hasil survei ini juga nampak bahwa keinginan masyarkat Tabalong untuk berpartisipasi dalam pilkada juga tinggi. Ketika responden ditanya apakah mereka akan menggunakan hak pilihnya (mencoblos), sebanyak 78.9% menyatakan akan mencoblos, yang menjawab belum pasti mencoblos sebanyak 12.7%. Sedangkan yang menyatakan tidak akan mencoblos hanya sebesar 0.4%. Sementara yang tidak menjawab atau menjawab rahasia sebesar 8.0%. Oleh sebab itu bila tidak ada aral merintal pada hari H pencoblosan, partispasi masyarakat diperkirakan cukup tinggi. Siapapun pemenang dari pilkada ini memperoleh legitimasi yang tinggi.

Tingkat Elektabilitas
Pertanyaan yang paling penting pada survei kali ini adalah tentang pertanyaan tentang pasangan calon mana yang akan mereka pilih. Ketika responden ditanyai dengan mengunakan ’pertanyaan terbuka’ (responden tidak disodorkan nama-nama pasangan calon dan responden bebas menjawab siapa saja), sebanyak 35.7% menyatakan memilih pasangan calon Rahman Ramsy-Muchlis. Sebanyak 21.1% menyatakan menjawab pasangan calon Anang Syakhfiani-Ridani Fiji. Dan yang memilih pasangan calon Gusti Kadarusman-Suyanto sebanyak 12.1%. Sementara menyatakan golput sebanyak 0.1%. Yang memilih nama lainya sebanyak 0.1%. Yang tidak menjawab atau menyatakan rahasia sebesar 30.8%.

Pergesaran perolehan suara juga tidak banyak mengalami pergeseran ketika responden ditanyai tentang siapa pasangan calon yang akan dipilih dengan menggunakan ’pertanyaan tertutup’ (responden disodori jawaban tiga pilihan pasangan calon). Sebanyak 38.6% menjawab akan memilih pasangan Rahman Ramsy-Muchlis. Yang menjawab akan memilih pasangan calon Anang Syakhfiani-Ridani Fiji sebanyak 23.0%. Sedangkan yang menyatakan akan memilih pasangan calon Gusti Kadarusman-Suyanto sebanyak 14.1. Sementara yang masih tidak menjawab atau menjawab rahasia sebanyak 24.3%.

Bila melihat jumlah masyarakat yang menyatakan rahasia atau tidak mejawab, mungkin masih bisa dikatakan bahwa peluang dari masing-masing kandidat masih terbuka. Namun peluang yang paling besar untuk memenangkan pilkada ini adalah pasangan calon Rahman Ramsy-Muchlis.

Kemungkinan Berubah Pilihan
Peluang dari masing-masing pasangan calon juga bisa dilihat dari kemungkinan pergeseran atau perubahan sikap pemilih. Ketika responden ditanya apakah pilihan mereka sudah tetap atau masih ada kemungkinan berubah. Hal menarik yang bisa dicatat disini adalah bahwa sebanyak 53.3% menyatakan pilihannya sudah tetap. Sedangkan responden yang menyatakan masih mungkin berubah sebanyak 18.1%. Sisanya sebanyak 28.5% masih tidak menjawab atau menjawab rahasia. Artinya 71.4% masyarakat Tabalong sudah menentukan pilihanya sebelum masa kampanye dimulai. Hal ini wajar karena sebenarnya sikap politik masyarakat sudah terbentuk jauh hari sebelum masa kampanye formal. Masyarakat sudah jauh-jauh hari sudah melihat berbagai media out-door yang dipasang oleh pasangan calon. Dan masyarakat sudah melakukan penilaian jauh-jauh hari sebelum masa kampanye formal.

Alasan Utama Memilih Calon
Masyarakat memiliki alasan tersendiri mengapa mereka memilih pasangan calon. Oleh sebab itu, pada survei ini kami ingin mengetahui apa alasan utama mereka dalam menentukan pilihan. Berdasarkan hasil survei ini terungkap bahwa alasan utama responden memilih pasanga calon adalah alasan kemampuan memimpin (27.1%). Kemudian disusul oleh alasan kedekatan dengan masyarakat sebesar 23.1%. Disusul pengalaman kerja (14.4%), Partai pendukungnya (5.5%), program kampanye (5.4%), hubungan keluarga (3.1%), kesamaan agama (1.8%), kesamaan suku (0.8%), didukung oleh tokoh agama (0.6), lainya (1.3%). Sementara yang tidak menjawab atau menajwab rahasia sebesar 15.8%

Demikianlah garis besar hasil survei yang kami lakukan. Kesimpulan yang bisa ditarik dari hasil survei ini adalah kondisi masyarakat Tabalong sangat kondusif untuk melaksanakan pilkada. Masyarakat Tabalong tampaknya sudah cukup dewasa untuk menentukan pilihan politiknya. Semoga pilkada di Kabupaten Tabalong ini berjalan dengan sukses dan damai.


Institut Survei Perilaku Politik atau dikenal dengan singkatan ISPP adalah lembaga konsultan politik untuk pemenangan pemilu presiden, pilkada (gubernur, bupati, walikota), pemilu legislatif, pemilu DPD. ISPP didirikan sejak tahun 2004 oleh para peneliti yang sudah berpengalaman dalam bidang survei dan pemenangan pemilu.

Di tingkat nasional, peneliti ISPP sudah terlibat dalam berbagai survei nasional dan  Quick Count pemilu presiden 2004. Sejauh ini peneliti ISPP sudah melakukan survei pemetaan politik dan konsultasi pemenangan di banyak propinsi, diantaranya Sumatera Utara, DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, Bali dan Nusa Tenggara Timur.

Bidang garap ISPP meliputi ; Survei Pemetaan Politik, Quick Count Hasil Pemilu dan Pendampingan pemenangan pemilu.

Personal Kontak
Dendi Susianto (0813-8999-0630) - Direktur Eksekutif
Murtianto (0818-729293) - Peneliti
Juli Purnomo (0812-9524592) - Peneliti
Fax : 021-54204536
Website:www.lkpi.org atau surveipilkada.blogspot.com
Email: lkpi@lkpi.org atau ispp_jkt@yahoo.com


*) Materi ini telah dipublikasikan di harian Banjarmasin post, 25 Oktober 2008





Pergeseran Perilaku Pemilih Indonesia


Pergeseran Perilaku Pemilih Indonesia

 
"ELECTIONS are won and lost on imagery," kata Mary Spillane, konsultan politik di Amerika Serikat, mengomentari perkembangan proses pemilu di negara demokrasi. Ideologi dan sistem nilai kini sudah ditanggalkan di atas altar popularitas. Persuasi politik menjadi bahan olokan hasil-hasil polling popularitas. Tidak hanya kebijakan, para pemimpin juga dipilih dan ditinggalkan menurut arah angin opini publik yang bertiup.

Citra seorang pemimpin-ekstremnya-akan lebih dipertimbangkan ketimbang kemampuan dan intelektualitasnya. Oleh karena itu, proses penyampaian pesan politik menjadi lebih penting daripada isinya sendiri. Pendek kata, integritas politik sudah dinomorduakan. Pencitraan jauh lebih dihargai daripada sebelum-sebelumnya.

Politik adalah popularitas.
Di dunia popularitas semacam ini, media massa, terutama televisi, menjadi panglimanya. Seymour (1989) mengatakan bahwa televisi kini merupakan bagian yang sudah terintegrasi dari kehidupan politik. Kemampuan televisi untuk menjangkau pemirsanya secara cepat dan luas, mulai dari yang tinggal di apartemen mewah hingga ke pelosok dusun, membuatnya selalu diburu oleh mereka yang hidup dari popularitas.

Oleh karena itu, kandidat pejabat publik harus sangat memerhatikan penampilan dirinya ketika tampil di televisi. Mereka harus secara jeli memerhatikan baju apa yang harus dipakai, bagaimana intonasi kalimat-kalimat pidatonya, bagaimana style rambut harus ditata, aksesori apa yang mesti dipakai atau dilepas untuk memperkuat citra dirinya. Pertimbangan semacam itu pada dasarnya mengarah pada bagaimana citra diri kandidat akan dibangun di hadapan publik. Pembangunan citra diri kandidat tersebut tentunya berdasarkan hasil rekomendasi market research; apakah akan dicitrakan sebagai sosok yang cerdas, berwibawa, religius, atau yang lainnya.

FENOMENA semacam ini yang bakal ditemukan dalam dunia politik Indonesia ke depan. Atau, paling tidak, fenomena ini sudah tergambar pada pemilu presiden kedua kemarin. Pada pemilu yang untuk pertama kalinya kandidat presiden dipilih secara langsung tersebut, sumber informasi utama tentang kandidat presiden diperoleh pemilih melalui televisi. Dari televisilah pemilih mendapatkan gambaran citra diri dari masing-masing kandidat presiden.

Survei preferensi pemilih yang dilakukan LP3ES pada pemilu presiden lalu menunjukkan bahwa mayoritas pemilih menentukan pilihannya karena mendapat informasi dari televisi (66,2 persen), sedangkan media lainnya, seperti radio, koran, dan rayuan langsung tim sukses hanya 33,8 persen. Para pemilih Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (SBY-JK), sebanyak 72,7 persen, juga mengakui bahwa mereka dipengaruhi oleh media televisi dibanding media lain saat menentukan pilihannya. Sementara mereka yang mencoblos Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi hanya 56 persen yang mengakui dipengaruhi oleh media televisi dibanding media lain saat menentukan pilihannya.

Fenomena lainnya, pemilih Indonesia menjadi tampak lebih independen terhadap elite partai politik. Partai politik sudah tidak menjadi referensi utama lagi bagi pemilih. Justru pencitraan diri yang positif yang dibangun melalui media televisi kini menjadi referensi utama bagi pemilih kita. Oleh karena itu, keinginan elite politik tidak selamanya sebangun dengan keinginan para pendukungnya. Masih segar dalam ingatan kita, pada pemilu kemarin elite Partai Golkar dan PPP bersama PDI-P membentuk mesin suara, yakni Koalisi Kebangsaan, untuk memenangkan Megawati-Hasyim. Jajaran pengurus kedua partai politik tersebut dari mulai pusat sampai ke desa kemudian melakukan "sosialisasi" ke massa pendukungnya secara all out. Namun, apa dikata, hasil quick count LP3ES dan beberapa lembaga lainnya menunjukkan pasangan SBY-JK mengungguli perolehan suara pemilih. Hasil survei mengatakan sebagian besar massa pendukung Partai Golkar dan PPP memercayakan suaranya ke SBY-JK dan mengabaikan imbauan elite politiknya yang mendukung pasangan Megawati-Hasyim.

Survei tersebut juga menunjukkan bahwa massa pendukung partai-partai politik yang menyatakan diri netral, seperti PAN dan PKB, juga ramai-ramai memberikan suaranya kepada pasangan SBY-JK. Sebanyak 77 persen massa pendukung PAN lari ke pasangan SBY-JK. Sementara massa pendukung PKB yang mendukung SBY-JK sebesar 66 persen. Kalangan Muhammadiyah juga ramai-ramai mendukung pasangan SBY-JK meski Amien Rais hanya memberikan dukungan kepada SBY-JK dengan malu-malu. Nahdliyin juga tetap ramai-ramai menuju TPS menggunakan hak pilihnya walaupun Gus Dur menyatakan diri golput. Hanya kebijakan elite PKS dan PDS yang masih sebangun dengan pilihan politik massa pendukungnya.

Persoalannya, apakah pergeseran perilaku pemilih semacam ini sehat bagi perkembangan kehidupan politik Indonesia ke depan? Apabila dilihat dari kacamata partisipasi politik, hal ini tentunya sangat baik. Dengan pemilu langsung, setiap warga negara diberi hak yang sama untuk memilih pemimpin yang mereka sukai. Kehidupan negara tidak lagi hanya ditentukan oleh elite politik, tetapi harus memerhatikan suara orang-orang yang terpinggirkan baik secara ekonomi, sosial, maupun pendidikan.

Kendati demikian, tegaknya negara demokrasi juga membutuhkan kedewasaan pemilih. Seperti yang dikatakan John Stuart Mill bahwa hanya pemilih yang rasional dan well informed yang bisa menjamin demokrasi bisa berjalan dengan baik. Demokrasi bisa menyeleksi pemimpin yang paling bijaksana, paling jujur, dan paling tercerahkan di antara warga negaranya sendiri.

SEBAB itu, di sini dibutuhkan media massa, seperti kata Habermas, yang mampu berperan sebagai instrumen atau forum diskusi publik yang mencerahkan, rasional, kritis, dan tidak bias terhadap pembahasan kepentingan umum seperti urusan politik dan kebudayaan. Media yang memberikan edukasi politik, yang menyediakan platform untuk diskursus politik publik, memberikan fasilitas untuk mengalirnya opini publik dan umpan baliknya.

Media massa, terutama televisi, tidak hanya memosisikan diri sebagai media infotainment. Apabila media massa seperti ini yang dominan, maka yang akan muncul adalah politisi selebritis. Politisi yang selalu sibuk dengan pencitraan diri di media massa tanpa pernah memikirkan arah perkembangan bermasyarakat dan bernegara. Kisah paling tragis adalah yang pernah dialami masyarakat Filipina dengan presidennya, Joseph "Erap" Estrada.

Awalnya Erap, demikian nama populernya, adalah Philippines Idol yang sangat digandrungi rakyatnya. Melalui televisi dan media massa lainnya, dia mencitrakan sebagai sosok yang cakap, tegas, hidup penuh sahaja, sosok yang dibutuhkan oleh rakyat Filipina yang sedang berjuang dengan kemiskinan, korupsi, dan kriminalitas. Namun, belakangan, setelah Estrada menjadi presiden, baru diketahui dalam real life- nya Estrada adalah sosok yang korup dengan gaya hidup yang foya-foya. Rakyat Filipina pun menjadi kecewa dan marah kepada Estrada. Singkat cerita, melodrama politik ini berakhir dengan dijebloskannya Estrada ke hotel prodeo.

*)Artikel ini telah dimuat di KOMPAS.

Selasa, 15 Maret 2011

Laporan Survei Pilkada Sulsel 2008


LAPORAN HASIL
SURVEI PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM
PEMILIHAN KEPALA DAERAH (PILKADA)
SULAWESI SELATAN 2008

I.       Metodologi
Metode pemilihan responden pada survei ini adalah dengan metode acak. Metode acak dilakukan secara berjenjang (multistage). Untuk menentukan jumlah responden pada survei ini diterapkan metode sampling. Jumlah responden dihitung dengan rumus Margin of Error. Responden didistribusikan secara proporsional.
Jumlah responden pada survei ini sebanyak 504 orang yang terdiri dari 252 pria dan 252 wanita. Margin of Error dari survai ini adalah +/- 4,36 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.
Responden pada survei ini tersebar di semua (23) kabupaten/kota di propinsi Sulawesi selatan secara proporsional. Wawancara dilakukan secara tatap muka dengan menggunakan kuesioner. Wawancara dilaksanakan pada tanggal 11 – 30 Juli 2008.

II.          Partisipasi Masyarakat Dalam Proses Pendaftaran Pemilih
Hasil survey menunjukan bahwa sebanyak 94.6% responden menyatakan terdaftar sebagai pemilih. Dan sebanyak 6.4% mengatakan tidak terdaftar sebagai pemilih pada Pilkada Gubernur Sulawesi Selatan lalu.

Inisiatif pendaftaran pemilih ternyata dominan dilakukan oleh petugas KPPS. Sebanyak 95.6% responden menyatakan bahwa mereka terdaftar sebagai pemilih karena atas inisiatif KPPS. Sedangkan hanya 3.3% menyatakan aktif mendafatarkan diri ke KPPS. Dan sebanyak 1.0% menjawab lainya.

III. Kepemilikan Kartu Pemilih
Mendapatkan Kartu Pemilih adalah bukti pemilih telah terdaftar dan merupakan mekanisme yang harus dilalui dalam proses pemilu. Ketika ditanyakan ke responden yang mengaku terdaftar sebagai pemilih, mereka yang menjawab memiliki kartu pemilih sebanyak 97.7%. Sedangkan yang menyatakan tidak memiliki kartu pemilih sebanyak 2.3%.

IV. Surat Undangan/Pemberitahuan Mencoblos
Kepada responden yang mengaku terdaftar sebagai pemilih juga ditanyakan apakah mereka mendapat surat undangan atau surat pemberitahuan untuk mencoblos pada waktu dan tempat yang telah ditentukan. Sebanyak 91.0% mengatakan mendapat Surat undangan. Dan sebanyak 9.0% mengaku tidak mendapat surat undangan untuk mencoblos.

V. Penilaian ketelitian terhadap proses Pendaftaran Pemilih
Bila responden ditanya bagaimana proses pendataan pemilih pada Pilkada Gubernur Sulawesi Selatan lalu, mereka yang positif menjawab Sangat Teliti sebanyak 9.9%, dan yang menjawab sebanyak Teliti 63.6%. Sementara yang negatif menjawab Tidak Teliti sebanyak 12.7% dan yang mejawab Sangat Tidak Teliti sebanyak 0.2%. Sedangkan yang tidak menjawab sebanyak 13.5%.

VI. Partisipasi menggunakan Hak Pilih
Sebanyak 92.4% menyatakan menggunakan hak pilihnya pada Pilkada propinsi Sulawesi Selatan lalu. Sedangkan sisanya 7.6% mengaku tidak menggunakan hak pilih.

VII. Alasan tidak menggunakan Hak Pilih
Dari yang mengaku tidak menggunakan hak pilihnya (7.6%) kemudian ditanya apa alasanya tidak menggunakan hak pilihnya. Paling banyak, 35.5% menjawab karena tidak terdaftar sebagai pemilih. Sebanyak 24.7% menjawab kerena tidak punya waktu, sakit 5.9%, lainya 5.9%, tidak ada calon yang cocok 2.9%, Pilkada tidak ada gunanya (2.9), dan yang tidak menjawab sebanyak 32.4%

VIII. Alasan menggunakan Hak Pilih
Alasan responden menggunakan hak pilih adalah paling banyak menganggap mencoblos sebagai kewajiban warga negara (39.4%). Yang menganggap mencoblos sebagai hak warga negara sebanyak 19.8%. Yang menginginkan perubahan yang lebih baik sebanyak 14.7%. Yang ingin punya gubernur dan wakil gubernur yang baik sebanyak 10.1%. Karena ikutan orang lain sebanyak 5.5%. Mengaku disuruh tokoh masyarakat sebanyak 4.8%. Tertarik pada program kampanye calon sebanyak 3.8%. Yang menjawab lainya sebanyak 1.9%.

IX. Kecurangan dalam Pilkada:Mencoblos lebih dari dua kali
Sebagian besar responden mengatakan tidak melihat banyak tindakan kecurangan yang dilakukan para calon gubernur pada pilkada Sulsel beberapa waktu lalu. Ketika merek ditanya apakah mereka melihat ada pemilih yang menggunakan hak pilih lebih dari dua kali, 84.2% menjawab tidak melihat. Hanya 3.4% yang mejawab melihat ada pemilih yang menggunakan hak pilih lebih dari dua kali. Sementara yang tidak menjawab sebanyak 12.3%.

X. Money Politik
Bentuk kecurangan lainya yang ditanyakan dalam survei ini adalah pemberian barang atau uang kepada pemilih dengan maksud agar mereka mencoblos salah satu calon. Sebanyak 87.0% menjawab tidak melihat adanya money politik. Hanya 1.4% menjawab melihat adanya money politik. Sendangkan 11.6% tidak menjawab.


XI. Intimidasi
Intimidasi (penekanan atau pemaksaan) terhadap seseorang untuk memilih salah satu calon adalah bentuk kecurangan. Ketika responden ditanya apakah mereka melihat adanya intimidasi yang dilakukan oleh calon atau tim suksenya, sebanyak 89.4% menjawab tidak melihat. Hanya sebanyak 1.4% yang menjawab melihat adanya intimidasi yang dilakukan oleh pihak calon. Sebanyak 9.2% tidak mejawab.

XII. Netralitas PPS
Netralitas Petugas Pemungutas Suara (PPS) adalah salah satu indikator Jurdil tidaknya suatu proses pemungutan suara di suatu TPS. Oleh sebab itu dalam survei ini responden ditanyakan apakah PPS di TPS tempat mereka mencoblos bersikap netral. Sebanyak 74.9% menjawab PPS bersikap netral. Sebanyak 3.6% menjawab PPS tidak bersikap netral. Dan sebanyak 21.4% tidak menjawab.

XIII. Kinerja Panwas
Peran Panitia Pengawas (Panwas) dalam proses pilkada sangat penting. Kinerja Panwas yang baik akan menentukan kualitas proses pilkada. Oleh sebab itu, dalam survei ini juga ditanyakan penilaian responden terhadap kinerja Panwas. Mayoritas dari responden menjawab positif. Sebanyak 66.9% menjawab baik dan 9.4% menjawab sangat baik. Sebaliknya yang menjawab negatif, sebanyak 8.0% menjawab tidak baik dan 0.4% mejawab sangat tidak baik. Sisanya 15.4 tidak menjawab.

XIV. Penilaian secara umum
Pada penilaian secara umum ini, responden ditanyakan apakah mereka setuju bahwa pilkada Sulsel dilaksanakan secara jujur dan adil (jurdil). Sebanyak 74.4% menjawab setuju. Sebanyak 3.4% menyatakan tidak setuju. Dan 22.1% tidak menjawab.

XV. Alasan memilih seorang gubernur
Kualitas partisipasi masyarakat dalam pemilu juga dapat tercermin dari alasan mereka dalam memilih seoarang pemimpin. Oleh sebab itu, pada survei ini ditanyakan apa alasan responden dalam memilih seorang gubernur. Sebanyak 37.6% menjawab karena alasan visi/misi/program dari calon yang menarik. Sebanyak 16.2% menjawab alasan kepribadian calon yang baik. Yang menjawab alasan kesamaan suku atau asal wilayah sebanyak 10.4%. Sebanyak 6.9% mengaku alasanya diajak oleh tim sukses. Alasan karena faktor partai politik pendukungnya sebanyak 6.0%. Dan yang menilai dari pengalaman kerja calon sebanyak 3.7%. Yang menjawab lainya sebanyak 3.7%. Dan yang tidak menajwab 15.4%.

XVI. Peran media massa
Proses pendidikan politik masyarakat akan banyak ditentukan oleh media komunikasi yang banyak digunakan oleh masyarakat. Oleh sebab itu dalam survei ini ditanyakan media komunikasi apa yang selama ini banyak memberikan informasi kepada masyarakat. Dalam survei ini responden ditanyai media komunikasi apa yang paling banyak memberikan informasi tentang calon. Senbayak 42.1% menjawab media luar ruang seperti baliho, spanduk, stiker dan poster. Yang mejawab televisi sebanyak 16.5%. Yang menjawab informasi dari teman atau keluarga atau tetangga sebanyak 9.3%. Yang menjawab dari tim sukses sebanyak 5.1%. Yang menjawab informasi dari aparat RT atau desa atau kelurahan sebanyak 4.3%. Yang menjawab informasi dari tatap muka langsung dengan kandidat sebanyak 3.5% Yang mejawab koran sebanyak 3.5%. Yang menjawab informasi dari ulama atau tokoh masyarakat sebanyak 2.8%. Yang menjawab souvenir seperti kalender dan lain-lain sebanyak 1.2%. Dan sebanyak 10.4% tidak menjawab.

XVII. Model Kegiatan Kampanye
Perilaku politik suatu masyarakat juga tercermin dari kesukaan mereka terhadap model kegiatan kampanye yang dilakukan oleh kandidat politik. Oleh sebab itu pada survei ini juga responden ditanyai tentang model kegiatan kampanye seperti apa yang paling disukai. Ternyata model kegiatan bakti sosial yang paling banyak disukai oleh masyarakat, yaitu sebanyak 22.9%. Kegiatan kampanye menggunakan poster, stiker, spanduk dan baliho sebanyak 19.1%. Yang menyukai model kegiatan melalui media massa sepeti radio, koran dan televisi sebanyak 13.6%. Yang menyukai model kegiatan ceramah, dialog dan tatap muka dengan calon sebanyak 9.7%. Yang menyukai model kegiatan keagamaan sebanyak 7.7%. Yang menyukai kampanye melalui kegiatan pawai atau arak-arakan sebanyak 7.3%. Yang menyukai kampanye melalui kegiatan olah raga sebanyak 4.7%. Yang menyukai acara kesenian atau hiburan sebanyak 2.6%. Dan yang tidak jawab sebanyak 12.4%.


XVIII. Netralitas Media Massa :Koran FAJAR
Media massa berperan sangat penting dalam mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam politik. Oleh sebab itu, pada survei ini ditanyakan aksesibilitas media dan kecenderungan isi berita dari media massa lokal. Ketika responden ditanyai apakah mereka pernah membaca koran FAJAR, yang menjawab membaca tiap hari sebanyak 6.2%. Yang menjawab beberapa kali dalam seminggu sebanyak 11.2%. yang menjawab beberapa kali dalam sebulan sebanyak 14.9%. Yang menjawab beberap kali dalam setahun sebanyak 12.7%. Sisanya sebanyak 55.0% tidak menjawab.


Kemudian ketika responden yang mengatakan pernah membaca koran FAJAR ditanyai bagaimana isi pemberitaan koran FAJAR tentang pilkada, sebanyak 5.5% mengatakan berpihak pada salah satu calon, yang menjawab netral terhadap semua calon sebanyak 46.1%. Sisanya sebanyak 48.4% tidak menjawab.

XIX. Koran TRIBUN TIMUR
Ketika responden ditanyai apakah mereka pernah membaca koran TRIBUN TIMUR, yang menjawab membaca tiap hari sebanyak 4.8%. Yang menjawab beberapa kali dalam seminggu sebanyak 6.2%. yang menjawab beberapa kali dalam sebulan sebanyak 9.6%. Yang menjawab beberap kali dalam setahun sebanyak 8.8%. Sisanya sebanyak 70.7% tidak menjawab.

Ketika responden yang mengatakan pernah membaca koran TRIBUN TIMUR ditanyai bagaimana isi pemberitaan koran TRIBUN TIMUR tentang pilkada, sebanyak 2.5% mengatakan berpihak pada salah satu calon, yang menjawab netral terhadap semua calon sebanyak 45.0%. Sisanya sebanyak 51.9% tidak menjawab.


XX. Koran UJUNG ANDANG ESKSPRES
Ketika responden ditanyai apakah mereka pernah membaca koran UJUNG PANDANG EKSPRES, yang menjawab membaca tiap hari sebanyak 0.6%. Yang menjawab beberapa kali dalam seminggu sebanyak 2.2%. yang menjawab beberapa kali dalam sebulan sebanyak 3.0%. Yang menjawab beberap kali dalam setahun sebanyak 2.6%. Sisanya sebanyak 91.6% tidak menjawab.




Ketika responden yang mengatakan pernah membaca koran UPEKS ditanyai bagaimana isi pemberitaan koran UPEKS tentang pilkada, sebanyak 3.4% mengatakan berpihak pada salah satu calon, yang menjawab netral terhadap semua calon sebanyak 22.0%. Sisanya sebanyak 74.6% tidak menjawab.


XXI. RADIO REPUBLIK INDONESIA (RRI)
Ketika responden ditanyai apakah mereka pernah mendengarkan siaran radio dari RRI, yang menjawab mendengarkan hari sebanyak 4.0%. Yang menjawab beberapa kali dalam seminggu sebanyak 11.2%. yang menjawab beberapa kali dalam sebulan sebanyak 17.4%. Yang menjawab beberap kali dalam setahun sebanyak 11.8%. Sisanya sebanyak 55.7% tidak menjawab.

Ketika responden yang mengatakan pernah mendengarkan siaran radio RRI ditanyai bagaimana isi pemberitaan RRI tentang pilkada, sebanyak 0.9% mengatakan berpihak pada salah satu calon, yang menjawab netral terhadap semua calon sebanyak 35.8%. Sisanya sebanyak 63.4% tidak menjawab.

XXII. TVRI MAKASSAR
Ketika responden ditanyai apakah mereka pernah menonto siaran televisi TVRI Makassar, yang menonton tiap hari sebanyak 2.4%. Yang menjawab beberapa kali dalam seminggu sebanyak 12.5%. yang menjawab beberapa kali dalam sebulan sebanyak 18.7%. Yang menjawab beberap kali dalam setahun sebanyak 16.1%. Sisanya sebanyak 50.3% tidak menjawab.

Ketika responden yang mengatakan pernah menonton siaran televisi TVRI Makassar ditanyai bagaimana isi pemberitaan TVRI Makassar tentang pilkada, sebanyak 2.5% mengatakan berpihak pada salah satu calon, yang menjawab netral terhadap semua calon sebanyak 45.0%. Sisanya sebanyak 51.9% tidak menjawab.

XXIII. Sikap KPU Sulsel dalam Sengketa Pilkada

Seperti kita ketahui bahwa pilkada propinsi Sulawesi Selatan terjadi sengketa. Pada proses sengketa pilkada tersebut KPU Propinsi Sulawesi Selatan dituntut untuk bersikap netral. Oleh sebab itu, pada survei ini responden ditanyai pendapatnya tentang bagaimana KPU propinsi Sulsel pada sengketa tersebut. Sebanyak 55.7% mengatakan KPU Propinsi Sulsel bersikap netral. Sebanyak 2.3% menjawab berpihak pada salah satu calon. Sisanya 42.0% tidak menjawab.